Pasangan Ratna Ester Lumbantobing-Refer Harianja dan Pasangan Banjir Simajuntak-Maruhum H. Situmeang selaku Pemohon Perkara Pemilukada Kabupaten Tapanuli Utara menghadirkan Hasyim Ashari yang merupakan Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang untuk menyampaikan keahliannya pada sidang yang digelar Jumat (1/11). Mendasarkan pendapatnya terhadap Putusan MK terkait Perkara Sengketa Pemilukada Kabupaten Tangerang lalu, Hasyim menyatakan DKPP melampaui kewenangannya.
Pada sidang pendahuluan yang digelar Rabu (30/10), Raja Marudut M. Manik selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pada pokoknya Pemohon perkara nomor 158/PHPU.D-XI/2013 ini mempermasalahkan surat keputusan KPU Sumatera Utara yang menjalankan putusan DKPP. Putusan DKPP tersebut memasukkan Pasangan Pinondang Simanjuntak-Ampuan Situmeang (Pihak Terkait) menjadi Peserta Pemilukada Tapanuli Utara. Pasalnya, Pemohon menganggap Pihak Terkait sudah mendapat dukungan ganda dan mendapat dukungan suara melebihi kuota.
“Bahwa partai yang mendukung untuk Saudara Pinondang Simanjuntak itu juga ternyata mendukung untuk Pasangan Calon Sanggam Hutagalung yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional dan Pasangan Calon Saur Lumbantobing dan Manerep Manalu dengan Partai Barisan Nasional, dan Saudara Nikson Nababan-Mauliate Simorangkir dengan Partai Buruh,” ujar Manik pada sidang perdana perkara ini.
Terhadap permohonan tersebut, Hasyim menyampaikan bahwa sesuai Putusan MK Nomor 115 Tahun 2013 tentang PHPU Kota Tangerang Tahun 2013 dapat dijadikan rujukan tentang pemulihan pasangan calon atas adanya putusan DKPP. Pasalnya, Hasyim mengatakan dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat DKPP hanya berwenang untuk memutuskan pelanggaran etik yang dilakukan penyelenggaraan pemilu dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai atau memutus hasil keputusan KPU maupun hasil keputusan Bawaslu yang terkait dengan kewenangannya dalam penyelenggaraan pemilu.
Berdasarkan putusan MK tersebut, Hasyim berpendapat keputusan DKPP yang memerintahkan pemulihan calon adalah keputusan yang cacat hukum karena melampaui kewenangannya yang diberikan oleh undang-undang sehingga tidak mengikat dan tidak wajib diikuti. Lebih lanjut, Hasyim pun berpendapat berdasarkan putusan MK tersebut, putusan DKPP tidak serta merta mewajibkan KPU secara langsung menetapkan bakal pasangan calon untuk menjadi pasangan calon peserta Pemilukada. DKPP sejatinya dapat sekadar memerintahkan KPU untuk memulihkan dan mengembalikan hak konstitusional bakal pasangan calon.
“Putusan Mahkamah Konstitusi pun dapat dijadikan rujukan, adapun poin-poin penting dalam putusan Mahkamah tersebut berpendapat bahwa berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu jelas bahwa DKPP hanya berwenang untuk memutuskan pelanggaran etik, yang dilakukan penyelenggaraan pemilu dan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai atau memutus hasil keputusan KPU maupun hasil keputusan bawaslu yang terkait dengan kewenangannya dalam penyelenggaraan pemilu. Menurut Mahkamah, keputusan KPU selain dari penetapan mengenai hasil perolehan suara pemilu adalah merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang apabila terjadi sengketa merupakan lingkup kewenangan pengadilan tata usaha negara atau PTUN, DKPP sebagai lembaga yang oleh undang-undang hanya diberikan kewenangan untuk memutus pelanggaran etik, tidak dapat memutuskan sengketa keputusan KPU dalam lingkup kewenangannya,” papar Hasyim mengutip bunyi putusan MK terhadap Perkara Sengketa Pemilukada Kota Tangerang. (Yusti Nurul Agustin/mh)
Sumber : Mahkamah Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar