"Bersama Membangun dan Mewujudkan Bona Pasogit Tapanuli Utara yang Sejahtera";
Tapanuli Utara Sebagai Lumbung Pangan Dan Lumbung Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas serta Daerah Wisata

Jumat, 11 Februari 2011

Kekerasan Atas Ahamdiyah (1)

Mengapa Negara Tak Mampu Lindungi Warganya


Kekerasan mendera warga Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, Minggu (6/2/2011). Diawali dengan makian, baku pukul dan saling lempar batu, lalu serbuan membabi buta, hingga tiga orang tewas, lima luka-luka yang bersama orang lain berhasil menyelamatkan diri.

Beberapa rekaman vedio yang beredar di internet, maupun yang jatuh dari tangan ke tangan, menunjukkan betapa kejinya perilaku massa. Dengan mengatasnamakan agama dan teriakan takbir, mereka bersemangat merusak rumah dan membunuh sesama warga negara yang beda keyakinan.

Untuk kesekian kalinya aparat keamanan tidak berarti apa-apa bagi mereka yang menjalankan keyakinan berbeda dengan para penyerbu itu. Dengan dalih, mereka telah mengevakuasi keluarga Suparman, telah memperingatkan warga yang masih tinggal di rumah, polisi tidak melakukan pencegahan atas kekerasan yang dilakukan ribuan orang.

Memang benar, polisi yang jumlahnya tidak seberapa, pasti kewalahan menghalau massa yang marah. Namun bukankah polisi telah mengetahui sebelumnya, bahwa akan ada massa yang datang untuk menyerang rumah Suparman? Mengapa tidak mengantisipasinya? Bukankah polisi juga bisa belajar dari kasus-kasus serupa, kasus-kasus kekerasan massa terhadap warga Ahmadiyah?

Sebagian besar kita dibuat tidak paham dengan logika membela diri dari aparat kepolisian setiap kali gagal melindungi warga dari aksi kekerasan yang dilakukan warga yang lain.

Pertama, polisi cenderung menyalahkan kelompok korban, karena mereka dianggap sudah tahu, sudah menyadari bahwa kegiatannya tidak disukai oleh kelompok lain yang lebih beringas. Oleh karena itu dalam banyak kesempatan, polisi memilih menghentikan dan membubarkan kegiatan tersebut, yang jika perlu diikuti oleh evakuasi para pelakunya.

Kedua, polisi merasa sudah selesai menjalankan tugasnya, ketika sudah memperingatkan warga akan adanya kemarahan atau serbuan warga lain. Kalau sudah diperingatkan dan tetap membandel sehingga akhirnya menjadi korban kekerasan, ya itu salah sendiri, bukan salah polisi.

Dengan dalih tersebut, polisi seakan tidak sadar atau tidak mau mengerti, bahwa kegiatan warga yang tidak disukai oleh warga yang lain tersebut adalah hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Negara wajib melindunginya, karena itulah tujuan dibentuk negara.

Sudah menjadi tugas polisi sebagai alat negara untuk menjaga dan melindungi warga negara menjalankan hak-haknya. Karena tugas itu pula, polisi diberi dan dilengkapi dengan pentungan, pistol, senapan, gas air mata, bahkan water canon dan panser. Polisi punya kewenangan sah untuk menggunakan kekerasan demi melindungi dan menjamin hak-hak warga negara.

Yang lebih menyesakkan adalah dalih polisi, atas sikapnya yang membiarkan para pelaku kekerasan berkeliaran. Sesungguhnya polisi sudah tahu identitas pelaku-pelaku kekerasan, bahkan penggerak dan pemimpinnya. Namun polisi tidak menindak mereka, dengan alasan: menahan dan menjebloskan ke penjara melalui pengadilan, justru akan menimbulkan eskalasi kekerasan, karena mereka akan melawan dengan kekerasan pula.

Agaknya hanya di Indonesia, polisi takut atas ancaman sekelompok orang pelaku kekerasan. Dan itu terjadi saat di mana kondisi sosial politik stabil. Apakah yang salah?

Jika hal itu terjadi pada masa awal reformasi, bisa dipahami. Sebab polisi dan tentara saat itu tidak solid akibat permainan para elitnya, sehingga polisi dan tentara di lapangan justru jadi aktor penyalur kekerasan. Jika itu terjadi, katakanlah pada zaman Gus Dur, juga bisa dimengerti, sebab pimpinan polisi dan tentara saat itu tidak mendukung kepemimpinannya.

Lah, kalau itu terjadi sekarang, saat kondisi sosial politik stabil, saat polisi dan tentara solid, maka kekonyolan, ketidaktegasan dan ketakutan polisi, sungguh tidak masuk akal. Jika hirarki kepolisian masih bagus, jika kepolisian masih punya atasan; mengapa kepemimpinan nasional tidak mampu memaksimalkan kepolisian untuk melindungi warga negara? (diks/iy)

Tidak ada komentar: