Rahasia Pembagian Amplop Usai Amuk Massa
Rumah Suparman kini porak-poranda sudah. Seluruh atap rumah yang dibeli dengan harga Rp 115 juta itu roboh. Bagian dalamya pun acak-acakan. Rumah di RT 02/ RW 02, Kampung Cipendeuy, Umbulan, Cikeusik, Pandeglang, Banten itulah saksi pembantaian keji yang menimpa pengikut Ahmadiyah Cikeusik yang dipimpin Suparman.
Minggu (6/2/2011), sekitar 1.500 orang mengamuk di rumah yang baru 7 bulan ditempati Suparman tersebut. Seribuan orang itu bertindak begitu beringas. Massa yang mengenakan ciri pita biru dan hijau itu tidak hanya merusak rumah. Tapi juga menangkapi dan menghajar Ahmadi, sebutan untuk pengikut Ahmadiyah.
Dari video yang beredar, Ahmadi yang tertangkap ditelanjangi bahkan yang sudah tidak berdaya itu masih diinjak-injak dan dipukuli. "Saya dibacok pakai golok, digebuki pakai batu bata, batu koral. Punggung serasa remuk," kata Ferdiaz, Ahmadi yang menderita luka bacok di punggung dalam kesaksiannya yang dirilis pengacara Ahmadiyah, Nurkholis Hidayat.
Mengapa massa yang membantai Ahmadiyah begitu banyak dan beringas? Pengacara Ahmadiyah yang merupakan gabungan dari Kontras, LBH Jakarta YLBHI dan ILRC melihat ada pola perencanaan yang sistematik dalam pembantaian terhadap Ahmadiyah tersebut. Sementara temuan sementara Kontras, ada mobilisasi massa dengan dugaan bayaran uang dalam insiden yang menewaskan 3 orang tersebut. "Ini temuan awal yang masih harus diverifikasi lagi," kata Koordinator Kontras Haris Azhar.
Soal dugaan adanya mobilisasi massa juga dikatakan Yudi Ahmad, anggota Ahmadiyah. Yudi yang ikut datang ke Cikeusik mengungkapkan, saat peritiwa bentrokan terjadi dirinya sempat meloloskan diri dari amukan massa. Yudi mengaku bisa lolos setelah lari dan bersembunyi di pinggir sungai yang dipenuhi semak belukar.
Setelah keluar dari persembunyian, Yudi sempat beristirahat di sebuah gubuk yang terletak di tengah sawah. "Tidak lama kemudian saya dibawa oleh seorang athfal bernama arif ke rumahnya yang letak rumahnya persis di seberang tempat kejadian," jelas Yudi.
Dari rumah itu, ungkap Yudi, dirinya melihat orang-orang yang menyerang baru pulang dari rumah Lurah Umbulan (Johar) sambil membawa amplop coklat. Sambil pulang massa terlihat bersalaman dengan polisi yang ada di sana sambil tersenyum-senyum.
Indikasi lainnya, lanjut Yudi, keesokan harinya, saat dia pulang ke Serang dengan angkutan umum, beberapa penumpang terdengar sedang membicarakan peristiwa penyerangan tersebut. Bahkan kondektur angkutan tersebut menyatakan pernah diajak untuk menyerang jamaah Ahmadiyah. Namun kondektur tersebut tidak mau.
Sementara seorang penumpang yang duduk tepat di depan Yudi juga terihat asyik ngobrol soal kejadian itu. "Orang yang duduk di depan saya malah bilang, 'mukul dapat satu juta," ujar Yudi menirukan omongan penumpang yang duduk di depannya itu.
Nurkholis menyatakan seluruh data dugaan soal massa bayaran dan keterlibatan polisi tersebut diserahkan ke Komnas HAM. "Seluruh data itu kami serahkan ke Komnas HAM untuk dilanjutkan penyelidikan yang independen. Polisi terlalu banyak menyampaikan informasi yang sepenggal dan tidak utuh," kata Direktur LBH Jakarta itu.
Namun ketika dikonfirmasi Lurah Umbulan Johar membantah mengumpulkan massa penyerang Ahmadiyah dan memberikan amplop coklat tersebut. "Tidak ada itu. Saya tidak mengenal massa yang menyerang. Sebab 100 persen warga luar," jelas johar.
Kabid Humas Polda Banten Gunawan Setiadi juga memberikan bantahan. Menurutnya, tidak benar polisi sengaja membiarkan aksi anarkis tersebut. Apalagi membiarkan karena dibayar. "Kami sudah mengantisipasi sebelum kejadian. Tapi karena jumlah massa yang datang di luar perkiraan kami tidak bisa berbuat banyak," kilahnya.
Namun seorang petugas dari Korem 064 Maulana Yusuf, Banten, yang ditemui detikcom di Cikeusik, tidak menampik adanya dugaaan mobilisasi massa. Sebab sebelum kejadian telah beredar SMS dan ajakan dari mulut ke mulut soal rencana aksi. Hanya saja,
petugas tersebut mengaku masih mencari tahu siapa di balik penyebaran SMS yang mengatasnamakan Gerakan Muslim Cikeusik (GMC) tersebut.
"Kalau nama organisasi itu bisa aja dibentuk dadakan dan bisa berubah-ubah. Tapi orang-orangnya itu-itu juga," jelas petugas yang enggan disebutkan namanya itu.
Sementara aktivis HAM Usman Hamid juga yakin massa penyerang Ahmadiyah memang dimobilisasi. Pita biru dan pita hijau menjadi penanda penyerang jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dipastikan memiliki simbol tertentu. Karena itu ada dugaan kalau massa ada yang mengendalikan. "Dari tipologi pelaku dan metode mobilisasi massa jelas. Ada aktor intelektual," kata Usman.
Dalam video yang beredar, massa penyerang memakai pita biru dan hijau. Ditengarai pita biru sebagai anggota biasa dan pita hijau sebagai tim inti. Namun Usman belum bisa memastikan, dia mengaku masih melakukan analisa.
Ketua MUI Cikeusik KH Amir memberi kesaksian Suparman sudah lama berkonflik dengan sejumlah warga Cikeusik. Sebelumnya Suparman selama beberapa tahun tinggal di komplek Perguruan Islam Al-Mubarok, Bogor, yang merupakan pusat Ahmadiyah.
Kepergian Suparman ke Bogor merupakan buntut konflik antara dirinya dengan sejumlah warga Cikeusik yang tidak senang dengan penyebaran ajaran Ahmadiyah di wilayah tersebut. "Sebelumnya ia tinggal di rumah orang tuanya yang lokasinya di seberang rumahnya yang sekarang," jelas KH Amir yang juga bekas guru ngaji Suparman.
Setelah beberapa tahun menghilang Suparman kemudian datang lagi ke Desa Umbulan dan membeli rumah milik Wasmad. Bangunan seluas 7 x 9 meter dengan halaman yang cukup luas tersebut, berdasarkan informasi warga setempat dibeli dengan harga Rp 115 juta. Proses pembelian dilakukan di sebuah kantor notaris yang beralamat di Pandeglang.
"Rumah yang ditempati Suparman saat ini merupakan milik Ahmadiyah Pusat. Itu yang dikatakan Suparman kepada kami. Dan mungkin karena alasan itu orang-orang Ahmadiyah dari pusat (Minggu, saat terjadinya insiden) datang ke sini untuk mempertahankan rumah itu," jelas Amir. (ddg/iy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar