Kisah Minggu Berdarah di Cikeusik
Menuju Cikeusik sungguh bukan perjalanan yang asyik. Meski secara jarak tidak jauh dari Jakarta, perlu waktu tujuh jam perjalanan untuk mencapai kecamatan di kabupaten Pandeglang, Banten tersebut. Empat perkebunan kelapa sawit, 3 perkebunan jati milik PTPN VII dengan jalan yang rusak parah harus dilewati bila ingin datang ke sana.
Meski demikian orang-orang terus datang ke Cikeusik sejak Minggu (6/2/2011) lalu. Sejak Minggu itu, Cikeusik terutama Desa Umbulan, menjadi perhatian semua orang termasuk bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Peristiwa berdarah di desa itu sungguh menggemparkan. Di desa itu, anggota Ahmadiyah dibantai dengan sangat keji.
Para Ahmadi, begitu sebutan anggota Ahmadiyah, diserang oleh ribuan orang. Para penyerang itu menangkap Ahmadi, menelanjangi, lalu memukulinya dengan batu, kayu dan senjata tajam. Saat pembantaian ini terjadi, ada tentara dan dua truk polisi. Tiga orang Ahmadi tewas. Lalu pembantaian itu muncul di Youtube dan menjadi perhatian dunia internasional.
Sesungguhnya pembantaian keji tersebut sudah terdeteksi jauh-jauh hari oleh pihak keamanan setempat. Ahmadiyah sudah berbulan-bulan menjadi polemik di Cikeusik. Pada November 2010, pimpinan Ahmadiyah Cikeusik Suparman sudah dipanggil ke Kecamatan Cikeusik dan diminta membubarkan kelompoknya.
Pihak keamanan pun sudah melakukan rapat untuk membahas kemungkinan terjadinya insiden tersebut. Pada Jumat, 4 Februari 2011, Polres dan Dandim Pandeglang melakukan rapat di ruang kerja Kapolres Alex Fauzi Razad. Rapat untuk menentukan nasib Suparman. Hingga pukul 22.00 WIB, rapat baru selesai.
Rapat antara lain menghasilkan sebuah surat yang berisi permintaan agar Suparman dan keluarganya mengungsi. Soalnya ada indikasi bakal ada warga Cikeusik penentang Ahmadiyah yang akan menyerbu ke rumah Suparman. Malam itu surat diberikan kepada Kapten TNI Darmawan, Komandan Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Cikeusik beserta Kapolsek Cikeusik AKP Madsupur, Camat Cikeusik Abjah, dan Kepala Desa Umbulan Johar yang menanti rapat berakhir.
Begitu menerima surat tersebut, Darmawan dan rombongan bergegas ke rumah Suparman untuk menyerahkan surat tersebut. Setelah menempuh perjalanan sepanjang 150 kilometer dengan kondisi jalan yang rusak, rombongan yang dipimpin Darmawan baru tiba di Desa Umbulan, Sabtu, 5 Februari pukul 03.00 WIB. Mereka langsung menuju rumah Suparman yang terletak di RT 03/RW 02 No. 13, Desa Umbulan.
"Selain memberikan surat, kami juga mengimbau Suparman dan keluarga, untuk mengungsi. Sebab kami dapat informasi hari Minggu (6/2/2011), akan ada massa yang datang ke rumahnya," jelas Darmawan saat berincang-bincang dengan detikcom.
Suparman dan Atep, sekretaris Ahmadiyah cikeusik, menuruti imbauan itu. Mereka mengungsi ke Polres Pandeglang. Sabtu (5/2/2011) pukul 10.00 WIB, Suparman dan Atep pergi dengan kendaraan yang disiapkan Polres Pandeglang. Sementara sebanyak 32 Ahmadi lainnya, termasuk orang tua Suparman, yang juga tinggal di wilayah Desa Umbulan, juga pergi mengungsi malam harinya. Maka hari itu semua Ahmadi Cikeusik sudah diungsikan.
Tapi ternyata keesokan harinya, Minggu pukul 04.00 wib, dinihari, sekitar 20 orang yang mengendarai mobil kijang Innova, suzuki APV, dan 2 sepeda motor, justru datang ke rumah yang ditempati Suparman yang seharusnya sudah kosong tersebut. Mereka adalah jemaat Ahmadiyah dari Jakarta dan Bekasi.
Menurut Humas Ahmadiyah Mubarik Ahmad, kedatangan jemaat Ahmadiyah dari Jakarta dan Bekasi tersebut hanya untuk silaturahmi. "Silaturahmi saja, kan Pak Parman bermasalah soal istrinya, dia ditahan di Mapolres. Rumah Pak Parman kosong, jadi mereka datang untuk melihat rumah sambil melihat Pak Parman," kata Mubarik.
Mendengar kabar kedatangan jemaah Ahmadiyah dari luar wilayahnya, Kapolsek Cikeusik Madsupur segera menugaskan Kanitreskrim Ipda Hasanudin untuk mengeceknya. Minggu, 7 Februari 2011, sekitar pukul 07.00 wib, Ipda Hasanudin yang ditemani Kades Umbulan dan ketua RT setempat Mustari, datang ke rumah Suparman.
Ipda Hasanudin kemudian mengimbau rombongan tersebut untuk meninggalkan lokasi. Sebab tidak lama lagi massa akan datang ke rumah itu. Perbincangan dengan rombongan Ahmadiyah itu, kata Johar, berlangsung selama 10 menit. Namun Perbincangan itu rupanya tidak menemukan kata sepakat. Sebab rombongan, kata lurah Umbulan itu, tetap ngotot dengan dalih akan menjaga aset Ahmadiyah sampai titik darah penghabisan.
"Salah seorang dari mereka bilang, kalau aparat tidak bisa mengatasi situasi lepaskan saja. Biar banjir darah. Seru ya kan pak?" jelas Johar menirukan ucapan orang itu.
Dalam video yang didapat detikcom, pria yang mewakili Ahmadiyah memang membuat pernyataan seperti yang dilontarkan Johar. Pria itu bernama Deden Sujana dan mengaku sebagai Ketua Keamanan Nasional Ahmadiyah. Menurut Mubarik, Deden memang anggota Ahmadiyah namun tidak ada jabatan Ketua Keamanan Nasional di Ahmadiyah. Meski kalimat Deden terasa 'menantang', tapi pernyataan itu berlangsung dalam dialog yang cair. Dialog Deden dan polisi bahkan diwarnai sejumlah tawa.
Karena Deden cs menolak dievakuasi, Hasanudin, Johar, dan Mistari akhirnya balik kanan dan pergi ke Kapolsek untuk melaporkan hasil pertemuan itu kepada Kapolsek dan Danramil. Tidak lama berselang, sekitar pukul 08.30 WIB, dari batas Kecamatan Cikeusik, muncul sekitar seribuan massa dari wilayah Kecamatan Binuangeun, Lebak, Banten.
Perlu diketahui Wilayah Cikeusik, merupakan tapal batas antara wilayah Kabupaten Pandeglang dengan Kabupaten Lebak. Kedua wilayah tersebut dibatasi sebuah muara sungai.
Tanpa bisa dicegah, ribuan massa yang sebagian besar mengenakan pita biru dan pita hijau itu melintasi Kantor Polsek Cikeusik. Menurut informasi yang dihimpun detikcom, mereka ada yang menggunakan sepeda motor, mobil bak terbuka, dan berjalan kaki. Rombongan itu secara beriringan menuju rumah Suparman yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Polsek Cikeusik.
Rupanya massa tidak hanya datang dari wilayah Binuangen. Di perbatasan Cikeusik yang lain, yakni yang bersebelahan dengan Kecamatan Munjul, masih wilayah Kabupaten Pandeglang, juga muncul kerumunan massa yang jumlahnya tidak kalah banyak. Mereka kemudian terlihat sudah bergerak menuju rumah Suparman.
Melihat massa sudah bergerak, Kapten Darmawan dan AKP Madsupur, yang ditemani Kades Johar langsung menuju rumah Suparman. "Saat kami datang sudah ada warga yang berkerumun di pinggir jalan depan rumah Suparman. Sementara di teras rumah ada tiga orang Ahmadiyah berdiri di sana. Salah satunya memakai jaket hitam," kenang Darmawan.
Darmawan dan Madsupur yang datang hendak mengevakuasi tetap mendapat penolakan dari jemaat Ahmadiyah yang ada di teras rumah Suparman. Tanpa diduga, kata Darmawan, Sarta, warga Cikeusik dan 2 warga lainnya melangkah ke teras rumah. Saat itu, kata Darmawan, pria yang berjaket hitam yang berdiri berhadapan dengannya di teras rumah, tiba-tiba mengeluarkan clurit dari balik jaketnya. Creet! clurit itu langsung menyayat lengan kanan Sarta. Seketika itu Sarta pun ambruk dan langsung digotong 2 orang warga.
Ujang, adik Sarta, yang ada di jalan depan rumah bersama rombongan warga langsung mengeluarkan golok dari balik bajunya dan menyerang. Dia tidak terima abangnya diclurit pria berjaket hitam tersebut. "Setelah itu terjadi hujan batu dari kedua belah pihak. Dan warga yang bergerombol di jalanan langsung meyerbu rumah Suparman. Saya, Kapolsek, dan Kades, langsung menghindar karena tidak mampu lagi menahan emosi massa," jelas Darmawan.
Saat itu juga, sekitar pukul 10.00 wib, massa yang sejak pagi bergerak dari batas kecamatan Cikeusik sudah tiba di lokasi. Mereka kemudian langsung merangsek ke rumah Suparman. Puluhan polisi dari Polres Pandeglang dan Polsek Cikeusik, tidak melakukan apa-apa. Tidak ada suara tembakan peringatan untuk membubarkan massa. Juga polisi yang ada tidak melakukan barikade di depan rumah Suparman untuk mencegah amuk massa.
"Massa yang datang di luar perkiraan kami. Jumlah mereka sangat besar. Jika kami ambil tindakan tegas kami khawatir akan jatuh korban di pihak warga maupun anggota kami," terang Kabid Humas Polda Banten Gunawan Setiadi, kepada detikcom.
Pernyataan senada juga dikatakan Darmawan, Danramil Cikeusik. Menurutnya, belasan pasukan TNI dari Koramil Cikeusik sudah berjaga-jaga. "Tapi karena massa jumlahnya begitu besar kita tidak bisa apa-apa. Lagi pula untuk pengendalian massa merupakan tugas polisi," kata Darmawan.
Menurut Darmawan, sebenarnya informasi rencana penyerangan itu sudah dikantongi sejak seminggu sebelum kejadian. Informasi tersebut juga sudah diteruskan ke Korem 064 Maulana Yusuf, Banten. Tapi informasi dari intelijen hanya menyebutkan pergerakan massa akan datang dari warga Cikeusik dan sekitarnya saja.
Ternyata tanpa diduga massa juga datang dari wilayah, Bunuangeun dan Malimping, Kabupaten Lebak. Dan jumlah mereka sangat besar sekitar seribuan orang. "Jadi bukan kami tidak mengatisipasi. Tapi jumlah massa yang datang memang di luar perkiraan kami," bela Darmawan.
Akibat bentrokan tersebut 3 warga Ahmadiyah, Mulyadi, Tarno dan Roni tewas. Sementara 6 orang lainnya, Jamhari (45), Bebi (45), Ahmad Mashudi (22), Deden Sujana (39), Dias (39), dan Apip (26),mengalami luka berat.
Ahmadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sama-sama sepakat adanya provokator dalam Cikeusik berdarah tersebut. Siapa provokatornya Ahmadiyah menyerahkan polisi untuk mengusutnya. Sementara MUI minta polisi jeli mengusut sang provokator. Jangan sampai yang ditindak hanya pelaku kekerasan yang bisa jadi juga menjadi korban dari provokasi jahat tersebut.
"Kami mengutuk, mengecam dan sangat prihatin atas insiden ini. Yang namanya kekerasan itu bukan ajaran agama manapun, apalagi ajaran agama Islam," tegas Ketua MUI Amidhan. (ddg/iy)
(http://www.detiknews.com/read/2011/02/10/140754/1568649/159/kisah-minggu-berdarah-di-cikeusik?nd992203605)
(http://www.detiknews.com/read/2011/02/10/140754/1568649/159/kisah-minggu-berdarah-di-cikeusik?nd992203605)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar