"Bersama Membangun dan Mewujudkan Bona Pasogit Tapanuli Utara yang Sejahtera";
Tapanuli Utara Sebagai Lumbung Pangan Dan Lumbung Sumber Daya Manusia Yang Berkualitas serta Daerah Wisata

Rabu, 06 Juli 2011

Ketum PGRI Prof Dr Sulistyo : Maaf Ya, Menteri dan Kepala Dinas Sama Saja

SEJUMLAH kabupaten/kota meraih angka kelulusan peserta Ujian Nasional (UN) SMA/MA sebesar 100 persen. Secara nasional, angkanya pun cukup fantastis, yakni 99,22 persen. Apakah angka ini menggambarkan membaiknya mutu pendidikan di tanah air? "Tidak," begitu jawaban Prof Dr Sulistyo.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) itu bahkan mengaku tidak kaget dengan tingginya angka persentase kelulusan UN tahun ini. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jateng itu pun menanggapi dingin tingkat kelulusan di sejumlah kabupaten/kota yang mencapai 100 persen.

Dia juga menyoroti amburadulnya pengurusan sertifikasi guru. Kooptasi kepentingan politik oleh penguasa di tingkat lokal, dianggapnya biang masalah. Berikut wawancara wartawan JPNN, Soetomo Samsu, dengan Sulistyo di Jakarta, Selasa (17/5).

Gegap gempita siswa merayakan angka kelulusan yang cukup tinggi terjadi di banyak daerah. Tanggapan Anda?
Saya menilai, masih saja ada anggapan bahwa keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari tingginya angka kelulusan atau nilai Ujian Nasional. Ini membahayakan.Buat apa nilai sembilan atau 10 jika anak-anak tidak bisa mengatasi hidup dengan nilai-nilai dasar.

Maksud Anda?
Selama ini sudah terbangun persepsi bahwa tingkat kelulusan UN merupakan parameter keberhasilan pendidikan. Dengan adanya anggapan ini, maka mulai dari siswa, orang tua, guru, pihak sekolah, dan termasuk bupati/walikota, akan berlomba-lomba mengejar angka kelulusan yang tinggi. Bupati/walikota akan mengukur prestasinya berdasar hasil UN.

Dampaknya, anak-anak akan berupaya mendapatkan nilai tinggi dengan cara-cara yang menyuburkan benih-benih koruptif, manipulatif, tak sportif, tidak bertanggung jawab. Dan bupati/walikota berupaya membangun pencitraan dengan angka kelulusan yang tinggi. Jadi semata untuk prestasi instan selama lima tahun berkuasa, bukan untuk berpikir jangka panjang. Menteri dan kepala dinas pendidikan juga seperti itu.

Lantas, aspek mana yang harus segera dibenahi?
Mestinya pemerintah cepat instrospeksi, membuat indikator yang jelas mengenai keberhasilan pendidikan. Jangan keberhasilan pendidikan semata dilihat dari hasil UN. Kami sedang melakukan penelitian, apakah kriteria kelulusan dengan sistem baru (gabungan nilai UN dengan nilai ujian sekolah) sejalan dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Kalau gegap gempita merayakan kelulusan, tentu itu bukan pertanda kualitas membaik.

Saya kira harus ada pembenahan komprehensif, termasuk memperbaiki sikap mental. Ini sulit diharapkan bisa dilakukan kabupaten/kota, karena bupati/walikota merupakan produk politik, yang tidak bisa menghargai sistem pendidikan untuk jangka panjang. Mereka (bupati/walikota) hanya berpikir lima tahun, mengejar prestasi instan, hanya lima tahun selama berkuasa. Sulit diharapkan bisa meraih mutu pendidikan yang baik. Mereka hanya mengejar prestasi instan, sekedar untuk pencitraan.

Apa tidak bisa berharap dari para guru, untuk menghindari politisasi di tingkat lokal?
Bukan hanya guru, tapi juga pengawas sekolah dan kepala sekolah, harus dibudayakan sikap membentuk peserta didik yang punya kemampuan membangun masa depan. Bukan semata membangun kemampuan siswa menyelesaikan soal Ujian Nasional. Saya berpikir, mengapa korupsi masih saja subur, ya karena dampak dari pendidikan yang hanya mengejar nilai ujian yang tinggi. Perubahan sikap mental harus dimulai dari guru dan kepala sekolah, serta pengawas. Ini perlu kerja keras jangka panjang, yang tidak cocok diserahkan kepada penguasa politik lima tahunan.

Maaf ya, menteri dan kepala dinas juga sama saja. Mereka tak pernah berpikir setelah lima tahun bagaimana. Yang penting selama lima tahun kekuasaan itu nyaman. Di daerah sangat parah, apalagi jika incumbent maju lagi di pemilukada.

Bagaimana perhatian pemerintah untuk peningkatan mutu guru?
Bicara guru, sungguh saya prihatin. Terus terang saya tidak melihat adanya keseriusan. Untuk sertifikasi guru misalnya, juga tak terlalu menggembirakan. Kuota belum terpenuhi, penentuan urutan juga belum bagus. Guru-guru yang sudah tua malah belum diajukan, yang muda malah duluan diajukan.

Berarti sumber masalah di daerah?
Ya, kabupaten/kota yang punya kewenangan untuk menetapkan, tapi tidak sesuai dengan azas keadilan. Tunjangan profesi selama lima bulan juga belum dibayar, untuk 2011 ini.

Untuk usulan sertifikasi guru, ini kasuistis terjadi di beberapa daerah saja, atau merata?
Hampir merata. Ambil contoh di Jawa Timur. Penetapan sudah terpenuhi kuotanya, tapi saya dapat info beberapa guru tua tidak masuk kuota. Jawa Tengah juga belum terpenuhi kuotanya dan guru-guru dengan masa kerja tua tidak dimasukkan. Guru agama, di bawah kementrian agama, tambah rumit lagi.

Langkah apa yang sudah dilakukan PGRI?
Kami sudah kirim surat ke daerah. Tapi kabupaten/kota malah bilang, itu kewenangan pusat. Padahal itu kewenangan daerah untuk mengusulkan. Kalau sudah tidak kooperatif seperti itu, kami hanya bisa menggerutu.

Sekedar itu?
Kalau demo, nanti dibilang kita gemar demo. Tapai kalau tak demo juga tak didengar. Kami melarang guru-guru untuk demo, kecuali sangat terpaksa. Kalau penetapan sertifikasi berbau KKN, ya kami gak bisa larang (guru menggelar aksi demo, red).

Anda juga duduk di DPD, bukankah bisa dijadikan jalur perjuangan?
Teman-teman di DPD terus memperjuangkan. Tapi pernah ada rapat kerja, ada keputusan, menterinya tak mau meneken. Setelah beberapa bulan, setelah diperbaiki, baru mau teken.

Keputusan raker mengenai apa?
Ah...tidak perlu saya sebutkan. Ada lah. Toh wawancara juga belum tentu dimuat. (sam/jpnn)


(http://www.jpnn.com/read/2011/05/17/92221/Maaf-Ya,-Menteri-dan-Kepala-Dinas-Sama-Saja-)

Tidak ada komentar: