Oleh: Muhammad Arifin
INDONESIA seakan tak pernah berhenti tertimpa bencana. Banjir bandang di Wasior, tsunami di Kepulauan Mentawai, hingga meletusnya Gunung Merapi yang kini terus mengeluarkan awan panas atau wedus gembel.
Setiap kali bencana, korban selalu berjatuhan. Bingung, panik dan merasa tidak siap menghadapi bencana dirasakan masyarakat. Peristiwa tsunami di NAD 26 Desember 2004, pantasnya menjadi contoh. Prilaku masyarakat di Pulau Seumeuleu yang telah memahami bencana membuktikan minimnya korban.
Tim Jentera Harian Analisa mewawancarai Ketua Jurusan Teknik Geologi Institut Teknologi Medan (ITM), Ir Lismawaty, MT yang juga Sekretaris Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumut. Didampingi humas ITM, HM Vivahmi Manafsyah, SH MSi. Ibu dosen kelahiran 2 Desember 1970 pun memaparkan pentingnya ilmu kebumian. Berikut hasil wawancara selengkapnya;
Analisa: Bencana kerap terjadi di Indonesia, seperti gempa dan tsunami. Bencana tersebut erat hubungan dengan ilmu geologi (kebumian). Kenapa ilmu geologi sangat penting di masyarakat?
Lismawaty: Kita tinggal di bumi.Kita harus tahu dulu bumi yang kita pijak ini prilakunya seperti apa, supaya bisa mengantisipasinya ketika berproses berpotensi bencana sehingga kita mengetahui apa yang harus kita perbuat.
Bumi ada tiga bagian, (saya menganalogi seperti telur matang). Kuning inti bumi, yang putih mantel, kulit yang tipis kerak bumi. Kita tinggal di kerak yang tipis, dengan ketebalan 30-50 km. Kerak bumi itu berbentuk lempengan-lempengan, ada lempeng benua, lempeng samudra/lautan.
Ironisnya, kerak bumi itu berada di bawa lapisan asteneosfer (mantel bagian atas) atau lapisan magma. Karena panas dan pijarnya mengakibatkan lempeng-lempeng di bagian atas pingin bergerak satu dengan yang lain.
Pergerakan itu ada yang bergerak berseberangan, bergerangan saling menjauh dan ada yang mendekat. (sembari menunjukkan peta di laptop)..
Lempeng tidak diam tapi saling bergerak. Makanya, ini sangat penting bagi masyarakat. Untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kita berada di atas lapisan magma atau di lempeng yang tidak diam. Ketika bergerak dan terjadi pelepasan energi mengakibatkan terjadinya bencana. Namun kita juga harus berpikir dan bertindak arif, bahwa pergerakan /proses tersebut juga telah memberikan sumber daya alam yang melimpah yang memberikan kehidupan pada kita. Sedangkan pergerakan yang mengakibatkan bencana terjadi sesekali. Kalaupun meimbulkan korban yang tidak sedikit, maka kitalah yang harus belajar dan berbenah, jangan menyalahkan proses alam yang memang sudah terjadi sebelum manusia ada di bumi. Karena sesungguhnya kita manusia yang butuh alam, bukan alam yang butuh manusia.
Analisa: Ketika terjadi bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus. Orang selalu bingung, panik dan merasa tidak siap menghadapi. Mengapa?
Lismawaty: Ketidaktahuan. Mereka tidak mengetahui, mereka hidup di daerah rawan bencana.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana ada. Kita ngomong mitigasi bencana, sekarang paradigmanya berubah. Paradigma sekarang, semaksimal mungkin mengurangi resiko bencana karena proses alam tersebut tidak bisa dicegah. Pasti terjadi. (sambil menuliskan rumus di kertas pertanyaan copian pertanyaan yang kami berikan) . Kalau ngomong resiko bencana ada tiga faktor yang berperan, yaitu potensi bencananya di kali tingkat kerentanan dibagi tingkat kemampuan menghadapi bencana. Potensi bahaya/bencana merupakan harga mati, pasti terjadi.
Apakah masyarakat sudah kenal daerahnya potensi bencana? Belum! (suara agak lambat). Maka itu penting ilmu kebumian. Bagaimana tingkat kerentanannya. Tinggi!. Tingkat kerentanan adalah potensi atau keadaan yang memicu untuk terjadi bencana ketika proses alam terjadi. Kondisi Indonesia tingkat kerentanannya sangat tinggi. Penduduk kita banyak, pemukiman di daerah yang rawan tergolong padat, kwalitas bangunan serta kondisi ekonomi.
Kemampuan, saat ada bencana pengetahuan masyarakat tentang bencana alam juga masih rendah, ketersediaan sarana prasarana seperti informaasi jalur evakuasi, tempat evakuasi juga tidak memadai bahkan tidak ada. Diparadikma lama, masyarakat sebagai objek/korban saat terjadi bencana. Sedangkan paradigma baru, masyarakat sebagai subjek, sebagai pelaku untuk tindakan pengurangan resiko bencana. Untuk itu, efektifitas mitigasi bisa dilakukan dengan meningkatkan kapasitas atau kemampuan dan mengurangi tingkat kerentanan, maka resiko bencana bisa dikurangi.
Analisa: Ada prediksi 2016 gempa berkekuatan di atas 7 SR bakal terjadi di Sumut. Apa benar Sumatera Utara daerah rawan bencana khususnya gempa?
Lismawaty: Sangat! (sambil tertawa kecil). Dengan posisi geologinya, Indonesia sangat rawan bencana karena wilayah Indonesia berada diantara empat lempeng.
Kepulauan Indonesia sendiri di lempeng Eurasia. Di bagian selatan Lempeng Hindia Austrasia, di bagian ini cenderung bergerak ke arah utara atau ke arah lempeng eurasia.
Nah, lempeng Eurasia berperan sebagia penahan, di bagian timur ada lempeng Fasifik bergerak ke arah barat menekan lempeng tempat Indonesia berada.
Kemudian di bagian di timur laut ada lempeng Filipina, sifatnya bergerak ke arah kepulauan Indonesia. Jadi dampak pergerakan lempeng yang saling menekan di lempeng Indonesia mengakibatkan seluruh wilayah Indonesia secara umum berpotensi bencana gempa dan tsunami.
Pertemuan lempeng menyebabkan ada melting membentuk gunung berapi sehingga membentuk jalur ring of fire atau jalur potensi bencana gunungapi. Maka, kawasan Indonesia masuk kategori daerah yang sangat rentan bencana tinggi. Sumut tidak terlepas.
Analisa: Bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus benarkah bisa diprediksi?
Lismawaty: Memang tidak bisa diprediksi, tahun, tanggal, atau jamnya. Tapi dengan ilmu statistik bisa diketahui siklus perulangannya. Misalnya gempa Nias 2005 dan Aceh 2004 merupakan gempa berkekuatan besar siklus 100 tahunan.
Ini sedang masa range perulangan yang akan terjadi dengan standar deviasi (± 25-50 tahun). Mulai 2004 sampai 25-50 ke depan pasti akan terus terjadi. Jadi jangan tanya kapan dan dengan kekuatan berapa akan terjadi, tapi tanya apa yang sudah disiapkan/diantisipasi bila saatnya tiba.
Analisa: Di Sumatera Utara banyak sekali gunung seperti Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Gunung Sibual-buali, Gunung Sorik Merapi, Gunung Pusuk Buhit di Samosor dan lainnya. Apakah gunung-gunung tersebut berpotensi kuat untuk meletus?
Lismawaty: Yang pasti gunungapi di Sumatera Utara itu gunung api aktif. Di Indonesia kan dikelas-kelaskan, ada aktif tipe A, tipe B dan tipe C. Ini hanya terminologi, untuk menyebutkan intensitas keaktifannya.
Kalau sangat intens keaktifannya dari tahun 1600 sampai sekarang terjadi itu tipe A. Kalau Tipe B, dari 1600 sampai sekarang tidak pernah meletus. Hanya ada indikasi erupsi solfatar, seperti ada uap panas. Itu menunjukkan masih adanya aktivitas magma di bawahnya.
Sinabung misalnya tadinya tipe B, dari 1600 kemudian meletus statusnya naik Tipe A. Untuk itu, janganlah mengkotak-kotakan tindakan pemantaun hanya berdasarkan status/tipe-tipe tersebut. Nanti tidak terpantau seperti Sinabung yang kecolongan sudah kejadian baru kebingungan.
Analisa: Dimana saja sih, daerah-daerah rawan bencana di Sumatera Utara seperti gempa, tsunami?
Lismawaty: Bencana gempa di Sumut yang sumbernya dari laut semua kawasan Pantai Barat Sumut. Itu rawannya tidak hanya gempa tapi juga tsunami.
Kemudian sepanjang Bukit Barisan merupakan kawasan jalur gempa yang ada di darat, yaitu pada jalur patahan Semangko. Di Sumatera Utara jalur patahan tersebut termasuk dalam tiga segmen (sambil menunjukan peta), yaitu sekmen Patahan Renun yang melalui Dairi, Karo, Langkat, Pakpak Bharat, Tobasa dan Humbang Hasundutan. Segmen Patahan Toru melintasi Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah dan segmen Patahan Angkola melintasi Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal
Kalau melihat aktif atau tidak, salah satunya lihat lah jalan Aeklatong yang tidak pernah baik. Itu jalur yang dilalui patahan Angola. Itu tidak bisa diperbaiki karena itu derah yang terus bergerak. Kalau mau jalannya yang dipindahkan atau dibuat jembatan dengan konstruksi khusus.
Analisa: Apa yang sudah dilakukan pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara terhadap daerah rawan bencana?
Lismawaty: Begini! Di tingkat dua, kabupaten/kota sudah ada yang melakukan pemetaan kawasan yang rawan bencana, namun sebagian besar belum melakukan pemetaan. Tindakan ini merupakan mitigasi awal sebelum terjadi bencana untuk pengurango resiko. Tapi hasilnya belum ditindak lanjuti, cenderung hanya sebagai dokumen yang ditumpuk di lemari arsip.
Di dalam penataan tata ruang butuh informasi kawasana rawan bencana sehingga bisa menyusun pemanfaatan ruang untuk apa dan seperti apa. Tapi ironisnya ada kabupaten/kota tidak memberi dengan alasan takut masyarakat panik.
Pemerintah tampaknya sudah peduli, payung hukum untuk mitigasi sudah ada, seperti adanya amanah undang-undang tentang penataan ruang yang berbasis pada bencana alam, dibentuknya Badan Nasional Penangguilangan Bencana (BNPB) dari pusat sampai daerah (Badan Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD), dll tapi implementasinya masih belum tepat/benar. Harusnya BNPB/BPBD tidak hanya berfokus pada penanggulangan pasca bencana, tapi juga pada penanggulangan sebelum bencana, sehingga biaya dan resiko bencana dapat lebih ditekan. Lihatlah manajemen penanggulangan pasca bencana sejak bencana gempa 2004 sampai bencana hari ini pun masih memprihatinkan.
Analisa: Tindakan apa yang harus dilakukan masyarakat ketika bencana terjadi seperti gempa bumi, tsunami, banjir, bandang longsor?
Lismawaty: Karena memang konsep mitigasi masyarakat tidak dianggap sebagai objek tapi pelaku untuk menekan resiko. Ketika gempa terjadi bersegera pergi ke tempat terbuka yang jauh dari bangunan/gedung, karena bahaya/bencana akibat gempa terjadi akibat goncangan atau gerakan tanah yang dapat menghancurkan bangunan.
Jika di dalam rumah, ketika ada gempa harus berlindung seperti di bawa meja, benda-benda yang ditempel di dinding harus dipaku dengan benar.
Kalau tsunami, khususnya daerah-daerah Pantai Barat yang sumber gempa sangat dekat. Bisa dirasakan. Kok goncangan sangat kuat. Biasanya akan diikuti tsunami kalau gempanya lebih besar 6,5 SR. Maka segera mencari tempat yang tinggi. Itu seperti naluri, tapi kalau tidak pernah dilakukan pelatihan maka tidak biasa.
Jika terjadi longsor bisa diwaspadai dengan melihat tempat tinggal khusus daerah-daerah kemiringan lereng yang terjal/ miring. Longsor juga bisa dideteksi, ada tidaknya retakan tanah pada lereng-lereng. Perhatikan curah hujannya tinggi atau tidak, karena curah hujan tinggi memicu terjadinya longsor.
Untuk gunungapi, dapat dipantau secara langsung oleh masyarakat apakah terjadi peningkatan aktivitas yang ditandai dengan adanya peningkatan gempa-gempa di sekitaran gunungapi, keluarnya asap dari puncak/kawahnya (bila biasaya tidak keluar), atau berubahnya warna asap dari putih ke gelap serta bertambahnya ketinggian asap, tercium gas sulfur semakin pekat dan cenderung luas sebarannya
Untuk itu, pemerintah bisa kerjasama dengan organisasi kepemudaan dan mahasiswa, pencinta alam dan LSM untuk mengedukasi masyarakat. (Lismawaty pun menawarkan minuman).
Analisa: Program Edukasi apa yang dapat diberikan untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam upaya pengurangan resiko bencana?
Lismawaty: Melakukan pelatihan. Kata kuncinya hanya pelatihan, sebelum berlatih, masyarkat harus diperkenalkan dulu daerah itu rawan bencana dan jalurnya dimana-mana saja.
Dalam pelatihan harus diberitahu jalur evakuasi, dimana tempat ngumpul. Berlatih adalah merubah prilaku manusia, kalau tidak berlatih tidak bisa.
Kita ambil contoh, apakah alat early morning system tsunami itu efektif untuk Indonesia. Tidak! (suaranya agak tegas) Kita menyuarakan ini. Kita IAGI tahun 2005 sudah menyuarakan.
Jalur gempa memiliki hubungan ke semua belahan bumi. Pulau Sumatera Utara dan pulau –pulau lain di Indonesia berjarak 200-300 km dari pusat gempa, maka ketika ada tsunami dengan kecepatan 500 km/jam, daerah yang hanya berjarak 200-300 km akan cepat tersapuh habis.
Bagaimana dengan pulau-pulau kecil di pantai barat Sumatera, jaraknya yang hanya 80 km, apa yang bisa dilakukan dengan alat tersebut. Artinya peringatan yang diberikan alat yang mahal tersebut tidak efektif untuk penyelamatan rakyat Indonesia, tapi bermanfaat untuk penyelamatan rakyat negara-negara lain.
Maka, mengedukasi masyarakat setempat lebih efektif karena bisa merubah kebiasaan, tidak usah menunggu. Lakukan pelatihan dan mengedukasi kebencanaan pada masyarakat jauh lebih penting. Belajar dari masyarakat Seumeule, ini prilaku masyarakat.
Tidak bisa dikomandai mereka lari ke tempat lebih tinggi, sebaliknya, masyarakat di Aceh barat dan banda keterbalikannya, ada air laut surut setelah gempa (pertanda akan ada tsunami) malah mendatangi pantai.
Sekarang ini tinggal bagaimana kita mengedukasi mereka, perlu metode yang benar dan terutama dibutuhkan keseriusan para pemimpin dan peran kita semua.