Wacana
- Oleh Nurhadi
MESKI berada di daerah potensial bencana, secara umum kesiapan kita masih lemah. Salah satunya terkait dengan sistem dan manajemen logistik bencana, misalnya banyak korban tsunami di Mentawai belum terjangkau oleh bantuan (SM, 31/10/10).
Hal ini disebabkan sulitnya medan transportasi, dan pada beberapa pulau tertentu memerlukan waktu hampir 12 jam, cuaca yang tidak menentu, ombak besar serta sarana dan prasarana yang kurang memadai. Padahal, logistik merupakan kebutuhan pertama dan utama bagi korban di pengungsian, termasuk yang luka ringan.
Sistem logistik bencana merupakan bagian integral dari sistem manajemen bencana. Istilah ini merujuk pada humanitarian logistic management (HLM) dan disaster logistic management (DLM).
Menurut Federal Emergency Management Agency (FEMA) dari Homeland Security of US Department, HLM dan DLM dapat didefinisikan sebagai proses perencanaan, pengadaan, penyimpanan, serta pendistribusian barang dan material secara efektif dan efisien dari sisi biaya dan waktu dan asal mula sampai tujuan akhir.
Dari pengertian sederhana ini, ada beberapa pokok pikiran antara lain perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, barang dan material, efektif dan efesien, biaya dan waktu, asal mula, dan tujuan akhir. Sebagai sebuah kajian yang baru, tentu saja sistem logistik bencana dapat terus dikembangkan, baik dari sisi cakupan kerja maupun fungsi kerja. Namun yang pasti, banyak sekali improvisasi yang bisa kita lakukan di sektor ini.
Pertama, terkait dengan revitalisasi fungsi informasi dan komunikasi. Seberapa besar sistem infokom logistik yang kita miliki selama ini? Harus diingat bahwa informasi merupakan salah satu driver (penggugah) dari logistic and supply chain management, tidak terkecuali dalam bidang khusus seperti kebencanaan.
Informasi ini juga akan terkait erat dengan koordinasi. Tanpa informasi yang cepat, tepat, dan akurat maka dapat dipastikan koordinasi akan lumpuh.
Revitalisasi Jalan Informasi yang baik dapat menghasilkan data seperti barang apa saja yang paling dibutuhkan oleh korban dan pengungsi baik sifatnya maupun jumlahnya (makanan, obat-obatan, kebutuhan bayi dan lansia dan sebagainya). Informasi juga terkait dengan tracking untuk mengetahui posisi dari distribusi bantuan logistik dan berapa stok yang telah tersedia saat ini.
Semestinya, dalam subsistem logistik bencana ada sebuah sistem yang bisa kita sebuah stock management yang berfungsi mengetahui secara real time beberapa pertanyaan berikut:
Apa saja yang dibutuhkan oleh korban? Berapa banyaknya? Berapa stok yang dimiliki saat ini? Tanpa sistem seperti ini, rasanya cukup sulit kita mendapatkan jawaban yang komprehensif tentang (misalnya), per hari ini apa dan berapa saja bantuan yang telah diberikan? Kecuali jawaban secara angka total.
Kedua, revitalisasi terkait dengan perencanaan dan operasional. Perlu dipetakan wilayah-wilayah di Indonesia yang rawan bencana, kemudian diklasifikasikan dalam jenisnya misalnya rawan longsor, rawan gunung berapi, rawan gempa bumi, rawan tsunami, rawan banjir dan sebagainya.
Dari peta-peta tersebut dapat diterjemahkan secara konkret dengan pembangunan distribution center (DC) di setiap wilayah. Daerah-daerah di lereng Gunung Merapi seperti Sleman, Boyolali, Kaliurang (Yogya) perlu dibangun masing-masing satu DC.
Masih terkait dengan revitalisasi perencanaan dan operasional, perlu diusahakan metode dan teknologi yang mempermudah proses distribusi di lapangan. Ditemukan fakta, bahwa beberapa hari menjelang meletusnya Gunung Merapi, jalan utama evakuasi di sekitar lereng Merapi rusak parah (SM, 05/10/10).
Tentu ini akan menghambat proses distribusi pangan dan material. Ke depan, pemerintah perlu melakukan penyegaran dan revitalisasi jalan-jalan utama di daerah rawan bencana.
Terkait dengan teknologi, penerapan teknologi pengemasan yang tepat sangat diperlukan. Ini untuk menjaga agar bahan pangan bisa bertahan cukup lama, baik pada saat proses penyimpanan, distribusi sampai dengan di lokasi bencana. Dibutuhkan pula ketersediaan SDM terampil untuk menangani sistem logistik bencana. (10)
— Nurhadi, alumnus Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, manager logistik pada PMA, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Jawa Tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar