TAK ada syarat lain yang paling penting, selain panggilan jiwa. Panggilan yang tak bisa dibungkam oleh rupiah. Siap siaga dan mungkin saja siap mati. Bukan malaikat, hanya manusia biasa. Taruna Siaga Bencana (Tagana) Sumatera Utara (Sumut), siap menjadi relawan di lokasi bencana. Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial provinsi Sumut (Dinsos Provsu), Drs. Robertson menegaskan, yang jelas mereka harus one corps, one rule, one command. Berikut petikan wawancaranya bersama Harian Analisa.
Robertson: Sederhananya Tagana memiliki jiwa-jiwa kepahlawanan dalam dirinya. Terlepas dari itu, di Dinsos Provsu sebetulnya banyak yang sifatnya relawan. Ini bukan sekadar pada person semata. Sebut saja, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Tenaga Kerja Sosial Sukarela (TKSK), Tagana, Karang Taruna. Inilah potensi-potensi yang kami kembangkan membantu pemerintah dalam memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat.
Analisa: Melihat latar belakangnya, Tagana berasal dari mana pak?
Robertson: Tagana berasal dari ragam organisasi masyarakat. Saat itu, akan lebih baik lagi kalau dibentuk taruna siap siaga. Artinya, pemuda-pemuda terlatih yang siap siaga saat bencana terjadi. Tagana muncul disebabkan karena adanya perubahan paradigma internasional dari kejadian bencana yang sifatnya responshif pada saat terjadi menjadi preventif proaktif. Maksudnya saat pra bencana pun sudah ada orang yang siap siaga. Inilah yang melatarbelakangi dibentuknya Tagana.
Analisa: Khusus untuk Tagana Sumut, kapan pertama kali muncul?
Robertson: Harus dipahami Dinsos Provsu merupakan rangkaian-rangkaian dari pusat. Maksudnya pusat membuka Tagana, sebagai perpanjangan Departemen Sosial Republik Indonesia (Depsos RI), hal serupa dilakukan oleh tiap-tiap provinsi, termasuk Sumut. Kurang lebih empat tahun Tagana ini hadir. Kemunculan Tagana ini juga diprakasi oleh pertemuan Karang Taruna se-Indonesia, di Lembang-Bandung, Jawa Barat pada 2005 lalu. Pada 2006, pelatihan Tagana pertama sudah dilakukan.
Analisa: Ada berapa banyak jumlah Tagana di Sumut ini pak?
Robertson: Kurang lebih jumlahnya ada sebanyak 1.200 Tagana yang terbagi di 33 kabupaten/kota di Sumut.
Analisa: Jambore Tagana yang baru-baru ini dilakukan di Langkat, kira-kira apa saja muatannya?
Robertson: Jambore ini dibuat untuk memantapkan skill (keahlian) mereka, dalam melaksanakan tugas penanggulangan bencana. Dalam beberapa item pelatihan, para Tagana ini dimantapkan agar lebih baik kemampuannya, seperti penggunaan shelter, posko, evakuasi dan logistik. Boleh dibilang, Jambore ini merupakan penyegaran untuk menyambut Jambore nasional, se-Indonesia. Sekaligus untuk menyeleksi sebanyak 25 Tagana yang akan diberangkatkan ke Jambore nasional.
Analisa: Katakanlah, terjadi sebuah bencana, lalu bagaimana teknis lapangannya? Maksudnya, apakah Dinsos Provsu akan mengerahkan seluruh Tagana ke lokasi bencana tersebut, atau?
Robertson: Bila terjadi bencana, Tagana dikirimkan secara bertahap, sesuai kebutuhan. Tindakan pertama, mengedepankan para Tagana yang berada di daerah terdekat di lokasi bencana. Misalkan seperti kejadian bencana Sinabung kemarin. Setidaknya ada sekitar 40 Tagana yang berasal dari Karo, karena merasa masih kurang, kami kirimkan sebanyak 100 Tagana dari Hamparan perak, Deli Serdang, Langkat dan Medan. Misalkan saat bencana, bertepatan dengan hari raya, lalu para Tagana yang ingin merayakan bersama keluarganya pun harus pulang. Kami pun menggantikan mereka dengan Tagana yang berasal dari Dairi, Humbahas, Pakpak Bharat dan Tapanuli Utara.
Analisa: Apa yang mereka dapatkan? Maksudnya, semacam gaji pak. Adakah?
Robertson: Tidak ada istilah gaji dalam hal ini, yang ada disebut Tali Kasih sebesar Rp. 100.000,- per bulan. Ini hanya sebagai pengikat saja, menjalin komunikasi dan menyampaikan informasi. Sebetulnya, provinsi hanya memberikan pembentukan, lalu diserahkan ke daerah. Masing-masing daerah kabupaten/kota yang memfasilitasi mereka dalam berbagai tugas. Apakah fasilitasnya dalam bentuk honor, atau fasilitasnya berupa peralatan kerja ke lapangan. Singkatnya, Dinsos Provsu hanya memotivasi kabupaten/kota. Jadi semacam, "Inilah Tagananya, binalah para Tagana ini secara lengkap." Hanya saja, pembina pusatnya tetap berada pada kita.
Analisa: Terkait pelatihan yang diberikan pada para Tagana ini, bagaimana teknisnya pak?
Robertson: Prinsipnya pelatihan dilakukan seminggu sampai sebulan. kalau dulu, dalam melatih Tagana ini, Dinsos Provsu bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut selama lima hari. Kalau sekarang, kami bekerja sama dengan Brimob. Pelatihan yang dilakukan itu bersifat militan, tanggap dan sangat responshif sekali. Seperti peragaan Tagana pada Jambore Tagana, di Langkat beberapa waktu lalu, para Tagana dapat memasang tenda pleton dalam waktu 11 menit. Dilakukan secara tim, mereka juga bisa merapikan tenda tersebut dalam waktu delapan menit.
Analisa: Apa saja syarat untuk menjadi Tagana?
Robertson: Energik, sehat dan siap dilatih. Mau menjadi one corps, one rules, one command. Mereka juga harus tahu mengoperasikan radio. Paling penting adalah keterpanggilan jiwa. Itulah syarat utama menjadi Tagana.
Analisa: Katakanlah misalkan, ada tagana yang saat bertugas membantu korban dalam sebuah peristiwa bencana malah kehilangan jiwanya. Bagaimana tanggung jawab Dinsos Provsu dalam hal?
Robertson: Jadi begini, pada 2011 ini akan ada program baru. Program asuransi bagi Tagana dalam pelaksanaan tugasnya. Ini merupakan program yang berasal dari pusat (Depsos RI). Tentu program ini akan turun ke provinsi dan ke daerah-daerah kabupaten/kota.
Analisa: Kalau dinas-dinas sosial di kabupaten/kota bagaimana pelatihannya? Apakah sendiri-sendiri atau tergantung Dinas Provsu?
Robertson: Setelah Tagana dibentuk di satu daerah, ternyata menurut kebutuhannya perlu untuk ditambahkan lagi, mereka (Dinsos kabupaten/kota) berhak untuk melakukan penambahan. Dalam sistem pelatihan yang diberikan nanti, mereka berkoordinasi dengan Dinsos Provsu. Praktiknya tidak begitu. Dinsos kabupaten/kota masih bergantung pada Dinsos Provsu. Setidaknya kabupaten/kota yang sudah melakukan itu adalah Langkat. Mereka sudah melatih Tagananya sendiri. Menurut data yang ada, saat ini Binjai, Langkat, Deli Serdang, Medan yang memiliki jumlah Tagana terbanyak. Sedangkan jumlah Tagana yang terbanyak peringkat kedua, Karo, Simalungun dan Asahan.
Selain itu sebetulnya, daerah-daerah di kabupaten/kota harus pro aktif untuk membuat peta lokasi rawan bencana, disampaikan kepada Dinsos Provsu. Sampai sekarang kabupaten/kota belum melakukan hal tersebut. Inilah yang sebenarnya perlu dipahami oleh daerah di kabupaten/kota.
Analisa: Terkait bencana, bagaimana koordinasi antara Dinsos Provsu dengan Dinsos kabupaten/kota?
Robertson: Koordinasi atau sinkronisasi itu pengucapannya saja yang gampang, tapi dalam praktiknya sebetulnya banyak kendalanya. Hanya saja, sebagai Dinsos provsu, pertama kapan kami dibutuhkan kami siap mengirimkan bantuan, termasuk mengirimkan Tagana ke lokasi bencana. Kedua, bagaimana memantapkan pengetahuan dan kemampuan para Tagana.
Praktiknya, penguasa daerah bencana itu adalah kepala daerah. Dialah yang akan memberikan perintah dalam masa tanggap bencana itu. Dinsos Provsu hanya menyiapkan tenaga sesuai dengan komando yang diperintahkan kepala daerah.